Kawasan
Pecinan merupakan sebutan bagi daerah yang mayoritas penduduknya adalah
penduduk cina yang berniaga dan bermukim di suatu kawasan. Kawasan Pecinan di Bandung terletak di
sekitar Pasar Baru, mulai dari sebelah barat Sungai Cikapundung, daerah belakang
bangunan Pasar Baru saat ini, sampai dengan daerah sekitar Stasiun Kereta Api
Bandung bagian selatan.
Perkembangan
pesat kawasan Pasar Baru mengimbas juga ke kawasan Pecinan Lama ini, terbukti
dari perkembangan intensitas kegiatan ekonomi, perubahan-perubahan fisik
bangunan lama menjadi bangunan modern untuk menampung fungsi perdagangan yang
meningkat, peningkatan kepadatan penduduk serta kepadatan bangunan. Secara ekonomi, intensitas kegiatan
perdagangan meningkat dan menghasilkan pendapatan yang lebih besar. Secara arsitektural, kawasan ini mengalami
degradasi kualitas fisik bangunan akibat usia dan perombakan bangunan lama
menjadi bangunan baru.
Kawasan ini awalnya memiliki ‘genius loci’
atau ‘sense of place’ sebagai kawasan Pecinan. Ditinjau dari segi historis dan
arsitekturalnya, kawasan ini merupakan benda cagar budaya yang harus
dilestarikan dengan preservasi ataupun konservasi.
Pembahasan tentang kawasan Pecinan pada makalah
ini hanya dibatasi pada kawasan Pecinan Lama saja, yang terletak di
sebelah barat Sungai Cikapundung.
Sejarah Kawasan
Kawasan Pecinan Lama terletak di
dekat Sungai Cikapundung, sampai daerah depan Pasar Baru. Pada masa kolonial
Belanda dahulu, daerah ini disebut Chineesche Voorstraat, kemudian
disebut daerah Pecinan atau Chinatown, karena di sinilah terkonsentrasi
para pedagang Cina yang berusaha dan bermukim membentuk wilayah tersendiri di
awal perkembangan kota Bandung. Dengan dibukanya jalur kereta api
Batavia-Bogor-Bandung tahun 1884, dan
Bandung-Yogyakarta-Surabaya tahun 1894, daerah Bandung banyak didatangi
kaum pendatang dari daerah lain, dan di antara mereka terdapat orang-orang Cina yang bertujuan
berdagang. Mereka lebih menyukai
melakukan kegiatan perdagangan di toko yang sekaligus merupakan tempat
tinggalnya, dibandingkan dengan berdagang di Pasar Baru. Pengelompokan ini juga merupakan upaya
pemerintah kolonial Belanda untuk mengawasi dan mengendalikan orang-orang Cina
di masa itu.
Awalnya para saudagar/pedagang pribumi dan Arab
memegang peran penting dalam perekonomian.
Karena keuletannya, para pedagang Cina ini berperan dalam sektor
perekonomian kota, dan bahkan mampu menggeser peran saudagar-saudagar pribumi
dan Arab. Bukti dominasi peran saudagar
pribumi terlihat dari nama jalan dan gang di kawasan Pasar Baru, yang dinamakan
dari nama para saudagar pribumi.
Pada tahun 1800-an, daerah Pecinan terletak di
sebelah barat Sungai Cikapundung (Pecinan Lama). Pemilihan tempat permukiman ini diduga kuat
ada kaitannya dengan keadaan alamnya yang dipercayai memiliki Chi yang baik
sesuai dengan Feng Shui. Kondisi daerah
ini antara lain muka tanah yang landai, dekat dengan sungai yang berkelok, dan
di sebelah Utara terdapat perbukitan (daerah Dago) Lokasi ini secara geografis dipilih mengingat
bagian selatan kota pada saat itu diduga masih merupakan daerah rawa, sedangkan
daerah Utara memiliki kontur yang curam dengan aliran air yang deras. Faktor
lain adalah kedekatannya dengan sarana transportasi kereta api, yang merupakan
moda transportasi penting saat itu.
Perubahan
Fisik Kawasan
Perubahan fisik kawasan
terbentuk dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam elemen-elemen penyusun kawasan
tersebut, antara lain :
a. Jaringan Jalan
dalam Kawasan
Jaringan jalan yang terdapat di
kawasan ini antara lain :
- Jalan
Otto Iskandardinata (Pangeran Soemedangweg).
- Jalan
Pecinan Lama (Chineesche Voorstraat).
- Jalan
ABC (ABC Voorstraat).
- Jalan
Banceuy (Kherkhofweg).
- Jalan
Suniaraja.
- Gang
Suniaraja.
- Gang Cikapundung dan gang-gang lainnya.
Jalan Otto Iskandardinata mengalami peningkatan intensitas
pemakaiannya dan perubahan lebar jalan.
Saat ini pada jalan ini diberlakukan arus lalu lintas searah, dari Utara
menuju Selatan. Sebagian badan
jalan digunakan untuk tempat parkir, dan pedagang kaki lima.
Jalan Pecinan Lama relatif tidak
seramai jalan-jalan di sekitarnya. Badan
jalan didominasi oleh kendaraan milik penghuni yang diparkir di salah satu sisi
jalan, dan pedagang kaki lima yang menempati trotoar jalan di depan bangunan
toko/gudang.
Jalan ABC baru tergambar pada
peta Kota Bandung tahun 1924. Arus lalu lintas diberlakukan searah,
menghubungkan Jalan Otista dengan Jalan Banceuy, sampai ke Sungai Cikapundung.
Jalan terdiri dari 3 lajur, namun 2 lajur di kedua sisinya dipakai sebagai
tempat parkir. Terdapat trotoar di kedua
sisi jalan sebagai tempat pejalan kaki.
Jalan Banceuy (istal kuda)
dibangun untuk melayani pembangunan penjara Banceuy tahun 1871. Saat ini pada jalur ini diberlakukan arus
lalu lintas searah dari Selatan ke Utara.
Jalan ini sangat padat karena digunakan untuk jalur lintas kendaraan dan
tempat parkir.
Ditinjau dari lebar badan
jalannya, nama jalan ‘Gang Suniaraja’ merupakan jalan lingkungan satu arah yang
dapat dilalui mobil dan sebagian badan jalannya digunakan sebagai lahan
parkir. Parkir jalan ini didominasi oleh
parkir truk dan mobil boks milik pertokoan sepanjang jalan ini, sehingga
menutupi separuh badan jalan.
Ditinjau dari lebar badan
jalannya, Gang Cikapundung merupakan
jalan lingkungan yang dapat dilalui mobil satu arah dengan sebagian
badan jalannya digunakan sebagai lahan parkir.
Di balik deretan pertokoan di
koridor jalan, terdapat permukiman padat di daerah kantong dalam blok kawasan
dengan fungsi campuran. Permukiman ini
dapat diakses melalui gang-gang kecil yang terdapat di antara bangunan-bangunan
di koridor jalan tersebut. Di tiap mulut
gang ke jalan besar ditempatkan pintu gerbang yang bisa ditutup sewaktu-waktu.
b. Tipe Bangunan di dalam
Kawasan
Karakteristik khas kawasan
Pecinan Bandung ini adalah detail-detail bangunan yang berasal dari berbagai
gaya yang diterapkan dalam bangunan-bangunan, akibatnya tampilan fisik kawasan
adalah perpaduan beberapa gaya seperti tipe tradisional, Cina-Eropa,
Cina-lokal, Eropa-lokal, dll.
Bangunan-bangunan di kawasan
Pecinan Lama secara umum dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe, antara
lain :
- Tipe
tradisional ’kampung’
Terdiri dari satu lantai, yang
strukturnya adalah struktur berbahan kayu. Awalnya terbentuk dari rumah
sederhana atau warung Cina, yang dikelilingi oleh ruang terbuka. Dengan semakin padatnya kawasan, hanya fisik
bangunan yang tersisa, sedangkan ruang terbuka di sekelilingnya telah terbangun
oleh bangunan yang relatif baru. Tipe bangunan ini menjadi langka
dan mengalami degradasi kualitas fisik arsitektural seiring dengan bertambahnya
umurnya.
- Tipe
tradisional Cirebon-Jawa
Sepintas bangunan ini bergaya
Cina, tetapi bangunan tipe ini awalnya dimiliki dan ditempati oleh pedagang
pribumi. Terdiri dari satu lantai yang
berfungsi sebagai pertokoan di bagian depan, dan tempat tinggal di bagian
belakang bangunan. Dilengkapi dengan
pintu masuk dari samping menuju bagian rumah tinggal di belakangnya. Tetapi kemudian sebagian besar jalan samping
ini ditutup untuk kemudian dibangun menjadi bagian dari toko. Tidak ada desain
khusus untuk bangunan pojok antar dua jalan, bagian depan bangunan
diorientasikan pada jalan yang dianggap lebih penting. Banyak bangunan
seperti ini sekarang dibagi kepemilikan secara longitudinal, sehingga
mempersempit fasade masing-masing bagian.
Dan masing-masing bagian kemudian membangun kembali dengan menambah
jumlah lantai bangunan sebanyak 3-4 lantai.
- Tipe
campuran Cirebon – Eropa
Tipe bangunan ini merupakan
perkembangan dari tipe tradisional Cirebon-Jawa, tetapi dengan menambahkan
inovasi seperti sistem atap belanda.
Dibangun oleh para pedagang Cina yang tinggal di bangunan ini setelah
pedagang pribumi. Bangunan ini terletak
pada kavling lebar, dengan fasade mengadopsi elemen estetik belanda dan
mengadaptasikannya dengan tipe tradisional Cirebon-Jawa, contohnya atap ‘ettic
palsu’ belanda.
Tipe bangunan pertokoan Cina
konvensional tidak terdapat di kawasan Pasar Baru, yang ada hanya beberapa tipe
bangunan yang mirip atau menyerupai bangunan berarsitektur Cina
konvensional. Gaya arsitektur cina di
Pecinan Bandung, tidak dibangun sepenuhnya seperti bangunan tradisional Cina
akibat keterbatasan kemampuan ekonomi pemiliknya. Pada bangunan-bangunan ini, elemen arsitektur
tradisional cina yang tampak adalah dinding pemikul samping Chin Kang
Ch’iang, dan ornamen sederhana pada bubungan atap. Dipakai pula konstruksi Hsiao Shih Ta Mu
atau konstruksi kayu sederhana.
Dibangun dan ditempati oleh para pedagang
Cina. Tipe bangunan seperti ini distimulasi
oleh makin sempitnya lahan sehingga bentuk kavling menjadi memanjang ke
belakang. Karakteristik tipologi bangunan ini adalah bangunan terdiri
dari dua lantai, atap perisai, dan fasade simetris.
Dalam kawasan studi kita dapat
menemukan beberapa rumah yang gaya bangunannya mengacu pada gaya arsitektur
modernisme Eropa pada tahun 1920 dan 1930-an.
c. Tata
Bangunan dan Peruntukannya
§ Bangunan
di Koridor Jalan Otto Iskandardinata
Sejak awal terbentuknya, daerah
ini memang diperuntukkan sebagai daerah komersial dengan fungsi campuran antara
perdagangan dengan permukiman. Daerah
sisi jalan dipergunakan sebagai pertokoan, sedangkan kavling bangunan sebelah
dalam atau lantai atas dipergunakan sebagai tempat tinggal. Bangunan di sepanjang jalan ini ditata
sehingga menjadi bangunan pertokoan berarkade dengan sempadan bangunan
nol. Bangunan berlantai 3-4 yang relatif
baru dibangun mendominasi tampilan streetscape jalan ini. Terdapat bangunan dengan tipologi bangunan
sudut di daerah pertemuan antara dua buah jalan.
§ Bangunan
di Koridor Jalan Pecinan Lama
Bangunan memiliki fungsi
campuran antara perdagangan dengan permukiman untuk pedagang cina. Daerah sisi jalan dipergunakan sebagai
pertokoan, sedangkan kavling bangunan sebelah dalam dipergunakan sebagai tempat
tinggal. Tipe-tipe bangunannya relatif
beragam, namun didominasi oleh tipe bangunan yang berciri khas memakai sebagian
arsitektur cina. Bangunan-bangunan lama
masih mendominasi tampilan streetscape jalan ini, yang masih digunakan
sebagai toko, hunian, dan ada pula yang sudah dialihfungsikan menjadi gudang
dan kantor Kelurahan Braga.
§ Bangunan di Koridor Jalan ABC
Di sini terdapat deretan
bangunan yang memperdagangkan barang elektronik, didominasi oleh bangunan
relatif baru dibangun, berlantai 3-4.
Lantai dasar dipergunakan sebagai toko atau showroom, sedangkan
bagian atas digunakan sebagai hunian. Fasade bangunan tertutup oleh papan
reklame atau nama toko. Bangunan tidak memiliki arkade, namun lantai atas
bangunan merupakan overstek yang melindungi pejalan kaki . Pada ujung barat Jalan ABC masih dapat
ditemukan dua buah bangunan pojok kembar.
§
Bangunan di Koridor Jalan Banceuy
Lokasi perdagangan ini
berkembang sejak didirikannya pasar besi bekas, lokasinya menempati areal bekas
kuburan, yang dikenal dengan nama Sentiong. Sebagian penggal Jalan Banceuy
bagian Utara dikenal sebagai daerah perdagangan onderdil mobil, yaitu penggal
jalan yang berdekatan dengan Jalan Suniaraja. Sebagian bangunan masih
mempertahankan bentukan fisik arsitekturnya, dengan gaya arsitektur cina, art
deco (Toko Kopi Aroma), dll.
§ Bangunan
di Koridor Gang Suniaraja
Bangunan-bangunannya saat ini
menampung fungsi perdagangan spesifik bahan-bahan material bangunan. Bangunan didominasi oleh bangunan baru,
dengan fasade bangunan yang sebagian besar tertutup oleh papan reklame dan nama
toko. Tidak terdapat arkade sepanjang
pertokoan, tidak juga terdapat overstek yang melindungi jalur pejalan kaki.
§ Bangunan
di Koridor Jalan Suniaraja
Bangunan-bangunannya saat ini
menampung fungsi yang lebih beragam, tidak spesifik seperti fungsi bangunan
pertokoan di Gang Suniaraja. Beberapa
bangunan merupakan pertokoan yang memperdagangkan bahan-bahan material
bangunan, dan ada pula bangunan yang menjadi bank dan fungsi komersial lainnya.
c. Tata Bangunan pada ‘Daerah
Kantong’ dalam Kawasan
Daerah
kantong merupakan istilah untuk daerah yang terletak di dalam blok, di belakang massa-massa bangunan di periferi
blok. Pada awal terbentuknya daerah kantong ini merupakan permukiman yang
memiliki lahan di periferi, namun kemudian lahan pertokoan beralih
kepemilikan. Awalnya permukiman tersebut
memiliki lahan yang relatif besar dengan akses ke jalan besar, namun seiring
dengan pesatnya pertumbuhan pertokoan di periferi blok, daerah di dalam blok
menjadi terlingkupi oleh massa-massa bangunan di pinggir jalan.
Daerah kantong dalam kawasan ini
dibedakan menjadi :
·
Daerah kantong terbuka (open pocket area). Merupakan daerah kantong yang memiliki lebih
dari satu jalan masuk, sehingga blok ini dapat diakses dari beberapa buah jalan
yang mengelilinginya.
·
Daerah kantong tertutup (closed pocket area). Merupakan daerah kantong yang hanya
memiliki satu jalan masuk dari beberapa jalan yang mengelilinginya.
Perkembangan
Kawasan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan kawasan sejak awal terbentuknya sampai saat ini antara lain :
a. Faktor Politis
Berbeda dengan
daerah Pecinan di Semarang dan Jakarta, daerah Pecinan di Kota Bandung dapat
dikatakan berkembang secara alamiah, tanpa terlalu banyak campur tangan politis
keamanan dari pihak Belanda, akibat terjadinya kerusuhan penduduk Cina tahun
1650-1750 di kota-kota besar berpenduduk cina besar.
b. Faktor Ekonomi
Perkembangannya
didorong oleh faktor-faktor upaya pemenuhan kebutuhan hidup pokok. Di Bandung, kawasan Pecinan terletak di dekat
stasiun kereta api yang merupakan moda transportasi penting saat itu, yang
menggerakkan kegiatan perekonomian di sekitarnya.
c. Kepercayaan terhadap Feng Shui
Pemilihan lahan
untuk permukiman awal dilakukan dengan mempertimbangkan aturan feng Shui yang
mereka percayai.
d. Perkembangan Kawasan sekitarnya
Dengan pesatnya
perkembangan Kota Bandung dan kawasan Pasar Baru saat itu, permukiman cina
meluas dari daerah semula di dekat Sungai Cikapundung ke daerah dekat Stasiun
Kereta Api, dan semakin menyebar ke berbagai penjuru kota. Daerah Pecinan saat ini sulit ditentukan batas-batasnya, karena itu
sebutan Kawasan Pecinan pada dasarnya adalah untuk menunjuk daerah Pecinan di
masa lalu.
Perubahan berupa pertumbuhan dan
perkembangan kawasan ini tidak terlepas dari peran beberapa pihak yang secara
langsung maupun tidak langsung terlibat.
Pada awal terbentuknya,
pemerintah kolonial Belanda mempunyai peranan penting dalam membuat
aturan untuk pengelompokan tempat bermukim kaum pendatang Cina. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh
banyak faktor, dan dilakukan bersama-sama antara pemerintah, kaum pribumi, dan
penduduk keturunan cina.
Pertumbuhan dan perkembangan
kawasan ini tidak terlepas dari pengaruh berbagai pelaku (stakeholders)
yang mempunyai kepentingan dan berusaha di kawasan ini, antara lain pemerintah
(dari zaman kolonial sampai dengan pemerintah daerah saat ini), Kaum Cina
pendatang dan keturunannya, para pedagang pribumi, pedagang dari daerah lain,
dan penduduk Kota Bandung pada umumnya.
Tekanan nilai ekonomi lahan, penggunaan lahan
yang efisien di pusat kota, dan beragamnya aktivitas di pusat kota merupakan
faktor-faktor yang mempercepat pertumbuhan dan perkembangan kawasan.
Belajar dari pembahasan yang
telah dilakukan, beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain :
- Identifikasi
jejak fisik kawasan dan perekaman perkembangan kawasan secara kronologis.
- Pendataan
mengenai bangunan-bangunan yang memiliki karakter arsitektur spesifik yang
mewakili suatu langgam yang berpotensi menjadi benda cagar budaya, agar
dapat dilakukan hal-hal yang berkaitan dengan konservasi dan preservasi.
- Dipertahankannya
‘sense of place’ atau ‘genius loci’ kawasan ini sehingga
mempunyai karakter fisik dan atmosfer yang khas.
- Pemberian
insentif bagi pemilik bangunan yang potensial menjadi benda cagar budaya,
untuk tetap merawat dan mempertahankan karakter fisik bangunannya tanpa
melakukan perubahan-perubahan yang signifikan.
- Penataan
kembali kaki lima yang terdapat di kawasan untuk memperbaiki tampilan
visual kawasan, dan menambah kenyamanan berjalan kaki di dalam kawasan.
- Perbaikan
prasarana jalan, drainase, dan fasilitas air bersih bagi bangunan-bangunan
yang terdapat di daerah kantong.
- Perencanaan
integral yang melibatkan pihak-pihak terkait dalam penataan kawasan ini
dan perbaikannya dalam konteks pemugaran
KESIMPULAN
Pemberdayaan dan
peningkatan peran serta masyarakat di dalam proses pembangunan, khususnya di
daerah perkotaan, bukan lagi sekedar paradigma, tetapi sudah merupakan suatu
filosofy ilmu perencanaan pembangunan kota (city-planning phylosophy). Kota-kota
di Indonesia selama ini dikembangkan dan dibangun dengan paradigma lama, yaitu
dengan mengadakan pendekatan top-down planning dan sektoral. Hasil pembangunan
yang diwujudkan, lebih mengakomodasi kebutuhan sekelompok warga masyarakat
dengan prosentase kecil (exclusive society), sedang kebutuhan kelompok
masyarakat yang lebih besar (marginal society) terabaikan, malah cenderung
tersingkirkan.
Akibat lebih jauh
adalah timbulnya kontradiksi dan konflik sosial, yang sangat rentan merusak
sendi-sendi sosial yang terpelihara cukup lama, disamping perusahaan
sarana-prasarana fisik perkotaan, Fenomena ini disadari bisa berakibat fatal
dan akan sangat lama untuk merekatkan sendi-sendi sosial seluruh kelompok
masyarakat di perkotaan, yang sempat dirusak.
Untuk ke depan,
pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat di dalam proses pembangunan
sebagai suatu sistem yang dipadukan dengan visi kota-kota besar dan menengah
dalam sistem globalisasi yang seluruhnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di perkotaan.
Dari uraian di atas
dapat dilihat dari hakikat ilmu proses perencanaan pembangunan kota berbasis
masyarakat telah melalui landasan-landasan ilmiah yang harus dilakukan dalam
mencari kebenaran, mencakup landasan ontologis, epistemologis dan ecxiologis.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Siregar, Sandi
Aminuddin (1990) Bandung – The Architecture of a City in Development: Urban analysis of a regional
capital as a contribution to the present debate on Indonesian urbanity and
architectural identity. Vol. I &
II.
2.
Kunto, Haryoto
(1986) Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung: PT.Granesia.
3.
Kunto, Haryoto
(1984) Wajah Bandung Tempo Dulu. Bandung: PT. Granesia.
4.
Bintarjo,
Benny (1982). Morfologi Jalan ABC Bandung. ITB
5.
Woromurtini,
Titin (1982) Morfologi Jalan Banceuy . ITB