Kamis, 10 April 2014

Fenomena,permasalahan tata ruang dan identitas Kota Larantuka

Larantuka sebuah kota kecil yang berada di bagian timur Pulau Flores, secara geografis lokasi Kota Larantuka Berada di kaki Gunung Ile Mandiri,dengan fungsi pelabuhan sebagai salah satu sarana  akses mobilitas dari dan keluar kota larantuka . Dilihat dari perkembangannya sesuai kondisi topografi,kota Larantuka terbentuk  mengikuti variasi dari bentuk perkampungannya,yang telah berjalan dari masa ke masa, Kota dan desanya bertengger di tepi pantai atau di lereng bukit,cenderung mengikuti kontur tanah yang berbukit-bukit.Menjadi bukti bahwa kota Larantuka berkembang secara alami.

Sistem pemerintahannya konon mulai dikenal masyarakat Larantuka sejak abad ke-13. Kota Larantuka tumbuh dan berkembang di bawah pengaruh ekonomi,sosial budaya dan keadaan alam.Dalam perkembangannya kota Larantuka di bagi dalam beberapa masa.

•       Masa sebelum kedatangan Portugis
Kota tumbuh dan berkembang di bawah pengaruh pendatang dari  suku lain di sekitar wilayahnya,ada pula suku pendatang dari Jawa beragama Hindu yang dieja masyarakat lokalnya sebagai warga Sina Jawa. Mereka ini masuk Larantuka semasa era kekuasaan kerajaan Hindu di Jawa pada abad ke-12. Kota dalam masa ini dikelompokan:
Ø Kota pantai
Ø Kota pedalaman

•       Masa setelah kedatangan portugis
Pada masa ini larantuka menjadi sebagai pusat perdagangan dan kebudayaan baru.
Saat misionaris Portugis menyinggahi Larantuka tahun  1556, mereka membaptis Raja Larantuka sebagai pemeluk Katolik. Ini diikuti prosesi permandian iman Katolik kepada 200 rakyat kerajaan. “Inilah awal Raja Larantuka memeluk Katolik.

•       Masa setelah Indonesia merdeka
Pada masa disebut masa transisi,kehidupan penduduk hampir semuanya tergantung pada pertanian tanah kering. Karena hanya memiliki sekali musim tanam, maka waktu antara musim diisi dengan pekerjaan sebagai nelayan atau tukang. Sebagian lagi mengisi waktu dengan merantau, ciri suku bermobilitas tinggi. Kehidupan pria ditunjang sepenuhnya oleh wanita dengan bekerja di kebun dan membuat pekerjaan kewanitaan yang turun temurun seperti menenun dan menganyam. Perlu diketahui, banyak juga penduduk nelayan terutama mereka yang berdiam di daerah pesisir pantai.namun seiring berjalannya waktu pertumbuhan perkembangan  kota Larantuka pun kian pesat.

Secara garis besar kota Larantuka berbentuk linier,berada di bawah kaki gunung ile mandiri dan berada di pesisir pantai,hal ini mengakibatkan ruang kota sempit,terbukti dari kota Larantuka hanya memiliki satu jalan utama, dari kelurahan Waibalun sampai kelurahan Weri.namun ada beberapa kelurahan yang memiliki lebih dari satu ruas jalan.seperti dari kelurahan larantuka sampai kelurahan postoh memiliki tiga ruas jalan,kelurahan amagarapati sampai kelurahan ekasapta memiliki dua ruas jalan,dari kelurahan pohon bao sampai kelurahan weri memiliki tiga ruas jalan.kendatipun begitu jalan utama masih mnjadi orientasi kegiatan masayrakat kota.hal ini mengakibatkan tidak optimalnya jalan lain selain jalan utama,dan memberi kesan semrawut pada Kota Larantuka,kecuali ruas jalan dari kelurahan larantuka sampai kelurahan lokea dan postoh yg di optimalkan pada saat pekan suci Semana Santa ( hari kamis putih - sabtu santo ).

kawasan pecinaan / kawasan pertokoan 
 Kawasaan pecinaan atau lebih  dikenal dengan sebutan kawasan / kompleks pertokoan menjadi pusat kota ,pusat perniagaan.hal ini di dukung oleh tata ruang nya yang berdekatan sama area  pelabuhan Larantuka,halte kota dan yang sering dijumpai terminal bayangan untuk angkot pedesaan dan bus antar kota,serta bangunan – bangunan yang ada pada sekitar kawasan ini,misalnya rumah jabatan Bupati, gedung DPRD,Area pemakaman umum.menjadikan aktivitas pada kawasan dan sekitar kawasan ini ramai dan semrawut,yang mencerminkan penataan zona ruang kota yang kurang memadai. Kekurangan pengetahuan dan pengalaman dalam mengelola kota telah mengakibatkan kota Larantuka menjadi berkembang secara tidak terencana.


Kawasan perkantoran pemerintahan

Dalam penataan ruang kota,sebagian gedung perkantoran/ instansi pemerintahan berada di wilayah kelurahan Puken Tobi Wangi Bao.hal ini disebabkan karena kontur wilayah kelurahan puken tobi wangi bao yang datar,sehingga sebagian kawasan kelurahan tersebut dijadikan Kawasan  perkantoran dinas pemerintahan kab  flores timur,namun adapula beberapa kantor dinas yang tidak terletak dalam kawasan itu.padahan ada beberapa perkantoran/instansi pemerintahan yang saling berhubungan erat, hal ini dapat mengganggu proses kerja suatu kantor/ instansi pemerintahan tersebut dalam memajukan flores timur.

Kawasan / ruang transisi antara kota dan desa
Akses masuk kota melalui dua terminal,yakni terminal lamawalang dan terminal weri. kedua kawasan ini merupakan ruang transisi, tapi pola pemanfaatan ruang nya mempunyai kecenderungan hilangnya identitas kota,hal ini disebabkan adanya fasilitas hiburan publik yang tidak mencerminkan budaya asli “Lamaholot” dan kota Larantuka,kota Reinha.

Sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Flores timur,Larantuka terus berupaya menata diri. Perkembangan kawasan perkotaan terjadi sebagai konsekuensi meningkatnya jumlah penduduk serta kebutuhan akan sarana prasarana penunjangnya, hal ini memerlukankepastian peruntukan lahan yang diatur melalui perencanaan, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatannya.Namun disadari atau tidak beberapa fenomena yang terjadi di kota Larantuka,misalnya Open space ( ruang terbuka publik ) yang berubah fungsi menjadi pusat penjualan PKL area komersial,seperti pada beberapa area taman kota, fenomena yang terjadi lainnya  pada fasilitas publik seperti halte kota yang menjadi sasaran tangan-tangan jail dalam berekspresi, kawasan bundaran patung Herman Fernandes yang sering kali tidak terawat dan menjadi tempat nongkrong,dan yg sering muncul saat ini adalah karakter yang didominasi tebaran media iklan serta pemanfaatan ruang transisi antar kota dan desa.





Perkembangan suatu kota mempunyai kecenderungan hilangnya identitas.hal ini disebabkan terjadinya peningkatan percepatan perubahan ruang-ruang kota secara sistematis dan sangat pragmatis mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan kota,terjadinya generalisasi perkembangan dan visual kota,membuat lunturnya karakter spesifik sebagai jatidiri sebuah kota sehingga kota semakin asing bagi masyarakat dan pembangunan kota lebih dititiberatkan pada pertimbangan aspek fisik dan ekonomi, serta cenderung mengabaikan nilainilai sosial budaya lokal dan historis kota.

Citra sebuah kota bukan hanya terbentuk dari tingginya gedung- gedung,tetapi juga dari nuansa gerak antara manusianya dengan massa pembentuk kota,dan mentalitas masyarakat kota.Pembangunan kota sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari perkembangan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politis suatu masyarakat kota dan pembangunan itu sendiri menjadi sebuah keharusan. Citra suatu kota dapat diwujudkan dari beberapa elemen.
  • District ( kawasan ) Bagian kota berukuran sedang sampai besar, tersusun sampai dua dimensi yang dapat dimasuki pengamat (secara mental), dan dapat dikenali dari karakter umumnya
  • Landmark ( tetenger) Titik acuan bersifat eksternal yang tidak dapat dimasuki pengamat, biasanya berupa struktur fisik yang menonjol
    Apabila dilihat dari jauh, dari berbagai sudut pandang dan jarak, di atas elemen lainnya, dijadikan acuan 
  • Node ( simpul ) Titik/lokasi yang strategis yang dapat dimasuki pengamat. Dapat berupa konsentrasi penggunaan/ciri fisik yang penting
  • Path ( jalur ) Jalur yang biasa sering atau potensial dilalui oleh pengamat, misalnya jalan lintasan  angkutan umum, kanal, rel kereta api
  • Edge ( tepian ) Batas antara dua kawasan yang memisahkan kesinambungan, elemen linier yang tidak dianggap/digunakan sebagai “path” oleh pengamat. Misalnya : pantai, lintasan rel kereta api, dinding , sungai
Dalam perwujudannya, elemen citra kota memiliki banyak formulasi dan kombinasi.Perlu kiranya dipelajari dan ditelusuri agar identitas kota berdasarkan tatanan dan fungsi kehidupan kota secara lebih terintegrasi yang di dalamnya merupakan akumulasi dari nilainilai sosiokultural warga kota sebagai ruh dan jati diri kota,serta elemenelemen fisik lingkungan sebagai wadahnya.


Maka di harapkan penataan ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang menjadi lebih baik,sehingga seiring dengan perkembangan dan pembangunan kota Larantuka tidak meninggalkan kekhasan budaya Lamaholot,sentuhan budaya Romawi, Portugis dan Melayu serta religiositas Kristiani. dan dapat mewujudnyatakan Larantuka “ Kota Reinha “ yang bukan hanya semboyan namun dapat kita buktikan, sekalipun hanya sebuah Kota Kecil namun dapat mempertegas identitas jati diri Kota Reinha sebagai icon Kota Religi dengan Semana Santanya yang begitu terkenal..


sumber referensi,

  • Studi lapangan (field research): mencari data dan informasi di lapangan
  • Studi kepustakaan (library research): dengan cara mengumpulkan data yang berkaitan dengan perkembangan tata ruang kota Larantuka

Minggu, 06 April 2014

    “Upaya Melindungi Bangunan Konservasi di Jl. RE. Martadinata Kota Bandung”

  Kawasan  RE martadinata yang terletak pada daerah srategis di kawasan Bandung Timur merupakan kawasan bangunan konservasi yang di jadikan kawasan komersil bagi para usahawan dalam mengembangkan bidang usaha, namun dalam kenyataannya kawasan ini bukanlah  kawasan yang diperuntukkan untuk pengembangan daerah komersil atau usaha.

        Pada pengembangan kawasan Bandung. kawasan ini diperuntukan untuk daerah pemukiman, khususnya adalah pemukiman bagi purnawirawan TNI. Namun menjamurya berbagai tempat usaha seperti Factory Outlet mengakibatkan terjadinya pelanggaran dalam penyalahgunaan fungsi peruntukan lahan yang awalnya merupakan perencanaan bagi kawasan pemukiman menjadi kawasan komersil. Selain itu Pada daerah RE Martadinata bangunan-bangunan yang sebagian besar adalah bangunan tua peninggalan colonial belanda telah banyak yang berubah bentuk.

       Bangunan-bangunan tua yang  mempunyai nilai sejarah yang seharusnya dapat dijadikan sebagai aset tersendiri telah mengalami berbagai perubahan bentuk dan fungsi. Pelangaran hukum khususnya berupa penyalahgunaan lahan dan pelangaran bentuk fungsi bangunan tanpa disengaja atau tidak telah terjadi. Pemerintah daerah seakan menutup mata terhadap pelanggaran tersebut Aturan -aturan hukum yang telah dibuat oleh pemerintah telah terabaikan. Undang undang megenai bangunan konservasi dan Penataan tata kota seakan-akan  hanyalah menjadi suatu aturan tanpa realisasi.

Bangunan konservasi yang mempunyai nilai budaya dan arsitektur yang terjadi akibat interaksi sosial budaya, adat istiadat dan nilai perjuangan yang terjadi pada masa lalu, yang seharusnya bangunan tersebut dipelihara, dirawat dan dilestarikan keberadaannya agar tidak rusak dan punah. Bangunan konservasi berupa bangunan tua (Heritage) di Bandung merupakan bangunan dengan sentuhan Eropa peninggalan Belanda. Tema Art Deco merupakan tema yang paling banyak diterapkan pada bangunan-bangunan tua di Bandung selain tema  Neo Classic, Romantic, Indische Empire Stijl, Indo-Europeesche Architecture Stijl, Oud Holland dan Villa. Sayangnya dari 400-an heritage yang ada di kota Bandung, hanya 40%-nya (sekitar 75 bangunan kuno) yang terawat dengan baik. Hotel Preanger, Denis Bank, Jalan Braga, dan Gedung Sate adalah sebagian kecil diantaranya.

Bandung adalah surga bagi para pecinta aliran seni art deco. Bahkan Bandung pernah dijuluki sebagai laboratorium arsitektur terlengkap karena memiliki kekayaan arsitektur yang hingga kini terus menjadi sumber inspirasi dan bahan penelitian yang tak ada habisnya. Kota Bandung sempat berada di urutan ke sembilan dalam the “Great Cities for Art Deco” versi Janet Forman. Berada di atas “induknya” Paris, Perancis.

 Menurut tulisan Juliaen da Silva pada tahun 1614, kota Bandung pertama kali  hanya terdiri dari 25 sampai 30 rumah. Kota Bandung tempo dulu dikenal sebagai “Parijs van Java” ketika mulai diadakan “Bursa Tahunan” (Jaarbeurs) di sebuah komplek di jalan Aceh. “Jaarbeurs” merupakan pasar malam dengan berbagai macam acara dan tontonan yang diselenggarakan setiap tahun pada bulan Juni – Juli.

Contoh-contoh bangunan lama yang berubah bentuk menjadi sebuah “Factory Outlet” adalah :

  1. China Emporium                                                                                                                            “China Emporium “ terletak di Jl.RE Martadinata,  menjual berbagai macam pakaian dan aksesoris yang beragam yang berasal dari Cina. FO ini sengaja dibuat mirip dengan negara aslinya lengkap dengan aksesoris lampion dan lain-lainya. Bangunan ini dulunya merupakan perumahan yang juga dimiliki oleh TNI.  
  2. Heritage                                                                                                                                              “Heritage” yang teletak di jl.RE Martadinata ini, juga menjual berbagai macam jenis pakaian dan aksesoris . Bangunan ini dulunya merupakan bangunan lama yang berfungsi sebagai hunian.
  3. Rennaritti                                                                                                                                           Factory Outlet (FO) ini terletak masih di  Jl. RE Martadinata. Menurut survey yang pernah dilakukan FO ini menjual barang yang banyak diperuntukkan bagi kalangan menengah ke atas. Selain itu, desain bangunan ini berubah total dari bangunan aslinya. Dari mulai denah sampai tampaknya pun telah di ubah. 

    Menjamurnya toko – toko yang disebut dengan “factory Outlet” membuat  berbagai macam masalah bagi kota Bandung sendiri. Salah satu masalah yang terjadi adalah berubahnya bentuk-bentuk dari bangunan yang dilestarikan. Bangunan tersebut berubah fungsi maupun bentuk fasadenya (tampilan bangunan).
       Salah satu media cetak di Bandung pernah memuat suatu artikel yang berjudul “Ketika Rumah Menjadi Factory Outlet” (Kompas edisi Jumat 30 Juli 2004) yang membahas banyaknya rumah-rumah atau pemukiman yang berubah fungsi menjadi bangunan komersil yaitu factory Outlet. Koran itu menyebutkan bahwa sejumlah bangunan lama berukuran besar yang ada di jalan –jalan utama Kota Bandung telah berubah menjadi factory outlet. Sudah menjadi pemandangan yang sangat biasa apabila melihat bangunan yang tadinya merupakan suatu daerah pemukiman menjadi tempat usaha. Bahkan ada diantaranya yang menggunakan tempat yang sebelumnya merupakan milik institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terletak di Jl.RE Martadinata.
       Apabila kita mengikuti perkembangan desain di daerah komersil, maka dapat dilihat, bentuknya berubah-ubah dari zaman ke zaman. Dahulu, dengan hanya memanfaatkan bangunan rumah lama dengan hanya merenovasi sedikit  maka jadilah sebuah “factory outlet ataupun yang lainya”. Tetapi saat ini, renovasi yang dilakukan pada bangunan-bangunan atau bahkan pada kantor militer dilakukan secara serius dan berkonsep.   Kutipan dari artikel yang berjudul  “ Lokasi Factory Outlet di Bandung akan ditata ulang “ ( Kompas, 23 November 2004)  memuat bahwa wali kota Bandung Dada Rosada mengatakan FO yang ada di Bandung akan ditata ulang sehingga tidak ada di sembarang tempat. Menurutnya, pihaknya merencanakan penataan ulang terhadap FO dan wilayah yang boleh dilakukan pembangunan atau tidak. Selama kebijakan tentang pembatasan dan penataan pendirian FO belum digulirkan, pemerintah akan membatasi pendirian FO di wilayah-wilayah yang peruntukannya bukan untuk kawasan bisnis.Mengutip dari sebuah media cetak di Bandung, bahwa 40% dari 150 toko pakaian yang berkonsepkan “Factory Outlet”  tidak memiliki izin usaha perdagangan atau tanda daftar perusahaan. Artikel dengan judul “40%  Factory Outlet di Bandung tidak memiliki izin” ( Kompas, 27 September 2004)  memuat bahwa Kepala Dinas Perindutrian dan Perdagangan  Kota Bandung, Nana Supriatna mengatakan bahwa Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan  (TDP) tidak dimiliki oleh sejumlah “Factory Outlet” di Bandung. Meski demikian tidak ada sanksi yang diberikan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan ataupun  Bandung Heritage kota Bandung. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan Rifana Erni menilai keberadaan factory outlet (FO) di Bandung sudah melebihi kebutuhan yang ada.

Kutipan dari artikel yang berjudul  “ Lokasi Factory Outlet di Bandung akan ditata ulang “ ( Kompas, 23 November 2004)  memuat bahwa wali kota Bandung Dada Rosada mengatakan FO yang ada di Bandung akan ditata ulang sehingga tidak ada di sembarang tempat. Menurutnya, pihaknya merencanakan penataan ulang terhadap FO dan wilayah yang boleh dilakukan pembangunan atau tidak. Selama kebijakan tentang pembatasan dan penataan pendirian FO belum digulirkan, pemerintah akan membatasi pendirian FO di wilayah-wilayah yang peruntukannya bukan untuk kawasan bisnis.
                   Dari upaya-upaya yang dilakukan Beberapa kalangan dari pemerintah, LSM, sejarawan dan                        dunia pendidikan yang berhubungan dengan konservasi bangunan-bangunan bersejarah serta nilai                   arsitektural bangunan dalam penyelamatan bangunan-bangunan bersejarah, terdapat beberapa                          kekurangan, antara lain :
a.           Dalam upaya pendataan, terdapat perbedaan jumlah bangunan bersejarah yang cukup signifikan. Ini dikarenakan perbedaan dalam menilai sebuah sejarah serta nilai-nilai arsitektural dari sebuah bangunan, serta kurangnya referensi dari pelaku-pelaku sejarah tersebut.
b.          Proses pendokumentasian merupakan cara yang paling realistis dalam hal pelestarian bangunan bersejarah. Hal ini disebabkan karena kesulitan melawan penguasa dan pengusaha yang hanya berfikiran money oriented, tanpa mau memikirkan arti pentingnya sejarah bagaimana kota ini didirikan serta peristiwa-peristiwa yang mengikuti perjalanan kota Bandung. Namun, manakah yang lebih baik, melihat langsung bangunan bersejarah lalu mendengarkan sejarah yang menyertainya, seolah-olah kita menjadi bagian dari sejarah tersebut yang pada akhirnya menimbulkan rasa terima kasih serta kekaguman atas perjuangan para pendahulu kita, mengunjungi museum untuk melihat foto, dokumen serta artefak yang berhasil didokumentasikan, mempelajari literatur bangunan bersejarah.

 Berdasarkan peristiwa yang terjadi dan pengamatan yang dilakukan, terdapat aspek-aspek penting yang berkaitan dengan pemerintah daerah kota Bandung sebagai pembuat dan pemegang kebijakan terutama yang berkaitan dengan pelestarian bangunan bersejarah, antara lain :
a.           Pemerintah kurang menanggapi upaya pelestarian dan perlindungan terhadap bangunan bersejarah karena mereka menganggap bahwa bangunan bersejarah tidak mendatangkan keuntungan bagi pemerintah. Hal itu terlihat dari tidak seriusnya pemerintah daerah dalam menyusun dan mengesahkan peraturan daerah (Perda) yang mengatur kriteria dan karakteristik bangunan bersejarah. Pemerintah menjanjikan penerbitan Perda pada tahun 2004, tetapi pada kenyataannya sampai sekarang Perda tersebut belum disahkan atau bahkan ada kemungkinan belum disusun. Hal itu dijadikan alasan oleh pemerintah untuk melegalkan pembongkaran bangunan bersejarah, kekuasaan pemerintah tersebut bahkan mampu mengalahkan para aktivis sosial dan LSM-LSM yang peduli pada sejarah dan identitas kota Bandung, sehingga sampai saat ini pembongkaran bangunan bersejarah masih sulit dicegah.
b.          Kekurangpekaan pemerintah terhadap pengrusakan bangunan bersejarah yang terjadi, serta ketidakpedulian akan masukan-masukan / kritik yang telah ditujukan oleh para aktivis LSM seperti Bandung Heritage dan elemen-elemen lain yang peduli akan kelestarian bangunan bersejarah di kota Bandung, maka seringkali bangunan bersejarah dibongkar oleh developer dan tidak terselamatkan.

Upaya Penyelamatan Bangunan Bersejarah
         yang Telah Dilakukan
Beberapa kalangan dari pemerintah, LSM Bandung Heritage, sejarawan dan dunia pendidikan yang berhubungan dengan konservasi bangunan-bangunan bersejarah serta nilai arsitektural bangunan, telah melakukan berbagai upaya untuk penyelamatan bangunan bersejarah . Usaha-usaha tersebut antara lain :
1.     Pendataan bangunan-bangunan bersejarah
Proses pendataan ini dilakukan untuk mengetahui berapa banyak bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah yang berubah fungsi bangunan. Beberapa pihak telah melakukan pendataan berdasarkan referensi sejarah, kondisi bangunan serta nilai-nilai arsitektural.
2.     Pendokumentasian sejarah dan bangunannya
Proses pendokumentasian bangunan-bangunan bersejarah dilakukan sebagai upaya untuk perpanjangan nilai dari sebuah sejarah. Kesulitan dalam mempertahankan bangunan-bangunan bersejarah tersebut akibat terus menggeliatnya kota Bandung untuk menjadi sebagai salah satu  kota metropolitan di Indonesia yang akhirnya harus mengorbankan  bangunan-bangunan bersejarah untuk dirobohkan atas nama pembangunan. Akibat dari dampak tersebut, beberapa LSM serta pemerintah berusaha mendokumentasikan sejarah beserta bangunannya dalam bentuk foto dan data lain yang mendukung seperti nama arsitek, tahun pembuatan, denah, tampak serta potongan bangunan untuk memperjelas bangunan yang didokumentasikan.
3.     Pameran foto bangunan bersejarah
Program ini ditujukan untuk menarik perhatian dan mempublikasikan kepada masyarakat luas agar masyarakat mengetahui bahwa di Bandung banyak bangunan bersejarah yang indah dan harus dilestarikan. 

Adapun beberapa kesimpulan yang dapat diambil yaitu:
Ø  Bangunan bersejarah yang dibagi berdasarkan kriteria untuk memudahkan pendataan dan dokumentasi. Adapun kriteria tersebut terdiri dari :
·             Bangunan yang berubah fungsi.
·             Bangunan yang merubah keberadaan bangunan penuh.
·             Bangunan yang menambah fasade bangunan.
Ø  Bangunan bersejarah yang di jadikan tempat tinggal purnawirawan merupakan situs cagar budaya yang bisa menjadi bukti penataan kota bandung dan pernah adanya suatu peristiwa besar yang berpengaruh terhadap masa sekarang dan masa depan. Bangunan bersejarah mempunyai nilai budaya dan arsitektur yang terjadi akibat interaksi sosial budaya, adat istiadat dan nilai perjuangan yang terjadi pada masa lalu.
Ø  Usaha-usaha yang telah dilakukan oleh beberapa elemen masyarakat antara lain:
1.           Pendataan bangunan-bangunan yang berubah fungsi bangunan.
2.           Pendokumentasian sejarah dan bangunannya.
3.           Menganalisa bangunan yang berubah.
4.           Pameran foto bangunan bersejarah.
5.           Merancang ulang dan merenovasi bangunan bersejarah yang  
               mengacu kepada PEDOMAN PELAKSANAAN BANGUNAN  
               BARU (GUIDELINES) yang telah ditetapkan oleh Bandung  
               Heritage.
Ø  Seiring dengan berjalannya waktu dan tuntutan zaman yang berbeda, kawasan ini telah berubah menjadi kawasan komersial, dimana bangunan yang berfungsi sebagai rumah tinggal hanya tersisa 25% dari total bangunan yang ada.
Ø  Diharapkan kawasan ini dapat mempertahankan/mengembalikan suasana tempo dulunya karena ditinjau dari aspek pariwisata kawasan – kawasan konservasi mungkin akan dapat memberikan citra yang lebih baik dibandingkan daerah kota lainnya, yang dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk memasarkan kota dalam promosi pariwisata ( konsep yang telah dimanfaatkan di negara maju dan sangat berhasil )
Ø  Kebanyakan hal yang harus dilakukan pada daerah R. E. Martadinata yaitu pejabat purnawirawan diatas harus memperhatikan pemanfaatan bangunan konservasi dan tata ruang kota supaya mengembalikan keadaan seperti semula meskipun tidak akan sama seperti dulu.


  sumber referensi, 
  1. Studi lapangan (field research): mencari data dan informasi di lapangan,    dimana objek pengamatan tersebut berada, melakukan wawancara dan diskusi dengan anggota LSM Bandung Heritage.
  2. Studi kepustakaan (library research): dengan cara mengumpulkan data yang berkaitan dengan bangunan bersejarah yang berubah fungsi dan bentuk di kota Bandung. Studi kepustakaan