Kamis, 10 April 2014

Fenomena,permasalahan tata ruang dan identitas Kota Larantuka

Larantuka sebuah kota kecil yang berada di bagian timur Pulau Flores, secara geografis lokasi Kota Larantuka Berada di kaki Gunung Ile Mandiri,dengan fungsi pelabuhan sebagai salah satu sarana  akses mobilitas dari dan keluar kota larantuka . Dilihat dari perkembangannya sesuai kondisi topografi,kota Larantuka terbentuk  mengikuti variasi dari bentuk perkampungannya,yang telah berjalan dari masa ke masa, Kota dan desanya bertengger di tepi pantai atau di lereng bukit,cenderung mengikuti kontur tanah yang berbukit-bukit.Menjadi bukti bahwa kota Larantuka berkembang secara alami.

Sistem pemerintahannya konon mulai dikenal masyarakat Larantuka sejak abad ke-13. Kota Larantuka tumbuh dan berkembang di bawah pengaruh ekonomi,sosial budaya dan keadaan alam.Dalam perkembangannya kota Larantuka di bagi dalam beberapa masa.

•       Masa sebelum kedatangan Portugis
Kota tumbuh dan berkembang di bawah pengaruh pendatang dari  suku lain di sekitar wilayahnya,ada pula suku pendatang dari Jawa beragama Hindu yang dieja masyarakat lokalnya sebagai warga Sina Jawa. Mereka ini masuk Larantuka semasa era kekuasaan kerajaan Hindu di Jawa pada abad ke-12. Kota dalam masa ini dikelompokan:
Ø Kota pantai
Ø Kota pedalaman

•       Masa setelah kedatangan portugis
Pada masa ini larantuka menjadi sebagai pusat perdagangan dan kebudayaan baru.
Saat misionaris Portugis menyinggahi Larantuka tahun  1556, mereka membaptis Raja Larantuka sebagai pemeluk Katolik. Ini diikuti prosesi permandian iman Katolik kepada 200 rakyat kerajaan. “Inilah awal Raja Larantuka memeluk Katolik.

•       Masa setelah Indonesia merdeka
Pada masa disebut masa transisi,kehidupan penduduk hampir semuanya tergantung pada pertanian tanah kering. Karena hanya memiliki sekali musim tanam, maka waktu antara musim diisi dengan pekerjaan sebagai nelayan atau tukang. Sebagian lagi mengisi waktu dengan merantau, ciri suku bermobilitas tinggi. Kehidupan pria ditunjang sepenuhnya oleh wanita dengan bekerja di kebun dan membuat pekerjaan kewanitaan yang turun temurun seperti menenun dan menganyam. Perlu diketahui, banyak juga penduduk nelayan terutama mereka yang berdiam di daerah pesisir pantai.namun seiring berjalannya waktu pertumbuhan perkembangan  kota Larantuka pun kian pesat.

Secara garis besar kota Larantuka berbentuk linier,berada di bawah kaki gunung ile mandiri dan berada di pesisir pantai,hal ini mengakibatkan ruang kota sempit,terbukti dari kota Larantuka hanya memiliki satu jalan utama, dari kelurahan Waibalun sampai kelurahan Weri.namun ada beberapa kelurahan yang memiliki lebih dari satu ruas jalan.seperti dari kelurahan larantuka sampai kelurahan postoh memiliki tiga ruas jalan,kelurahan amagarapati sampai kelurahan ekasapta memiliki dua ruas jalan,dari kelurahan pohon bao sampai kelurahan weri memiliki tiga ruas jalan.kendatipun begitu jalan utama masih mnjadi orientasi kegiatan masayrakat kota.hal ini mengakibatkan tidak optimalnya jalan lain selain jalan utama,dan memberi kesan semrawut pada Kota Larantuka,kecuali ruas jalan dari kelurahan larantuka sampai kelurahan lokea dan postoh yg di optimalkan pada saat pekan suci Semana Santa ( hari kamis putih - sabtu santo ).

kawasan pecinaan / kawasan pertokoan 
 Kawasaan pecinaan atau lebih  dikenal dengan sebutan kawasan / kompleks pertokoan menjadi pusat kota ,pusat perniagaan.hal ini di dukung oleh tata ruang nya yang berdekatan sama area  pelabuhan Larantuka,halte kota dan yang sering dijumpai terminal bayangan untuk angkot pedesaan dan bus antar kota,serta bangunan – bangunan yang ada pada sekitar kawasan ini,misalnya rumah jabatan Bupati, gedung DPRD,Area pemakaman umum.menjadikan aktivitas pada kawasan dan sekitar kawasan ini ramai dan semrawut,yang mencerminkan penataan zona ruang kota yang kurang memadai. Kekurangan pengetahuan dan pengalaman dalam mengelola kota telah mengakibatkan kota Larantuka menjadi berkembang secara tidak terencana.


Kawasan perkantoran pemerintahan

Dalam penataan ruang kota,sebagian gedung perkantoran/ instansi pemerintahan berada di wilayah kelurahan Puken Tobi Wangi Bao.hal ini disebabkan karena kontur wilayah kelurahan puken tobi wangi bao yang datar,sehingga sebagian kawasan kelurahan tersebut dijadikan Kawasan  perkantoran dinas pemerintahan kab  flores timur,namun adapula beberapa kantor dinas yang tidak terletak dalam kawasan itu.padahan ada beberapa perkantoran/instansi pemerintahan yang saling berhubungan erat, hal ini dapat mengganggu proses kerja suatu kantor/ instansi pemerintahan tersebut dalam memajukan flores timur.

Kawasan / ruang transisi antara kota dan desa
Akses masuk kota melalui dua terminal,yakni terminal lamawalang dan terminal weri. kedua kawasan ini merupakan ruang transisi, tapi pola pemanfaatan ruang nya mempunyai kecenderungan hilangnya identitas kota,hal ini disebabkan adanya fasilitas hiburan publik yang tidak mencerminkan budaya asli “Lamaholot” dan kota Larantuka,kota Reinha.

Sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Flores timur,Larantuka terus berupaya menata diri. Perkembangan kawasan perkotaan terjadi sebagai konsekuensi meningkatnya jumlah penduduk serta kebutuhan akan sarana prasarana penunjangnya, hal ini memerlukankepastian peruntukan lahan yang diatur melalui perencanaan, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatannya.Namun disadari atau tidak beberapa fenomena yang terjadi di kota Larantuka,misalnya Open space ( ruang terbuka publik ) yang berubah fungsi menjadi pusat penjualan PKL area komersial,seperti pada beberapa area taman kota, fenomena yang terjadi lainnya  pada fasilitas publik seperti halte kota yang menjadi sasaran tangan-tangan jail dalam berekspresi, kawasan bundaran patung Herman Fernandes yang sering kali tidak terawat dan menjadi tempat nongkrong,dan yg sering muncul saat ini adalah karakter yang didominasi tebaran media iklan serta pemanfaatan ruang transisi antar kota dan desa.





Perkembangan suatu kota mempunyai kecenderungan hilangnya identitas.hal ini disebabkan terjadinya peningkatan percepatan perubahan ruang-ruang kota secara sistematis dan sangat pragmatis mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan kota,terjadinya generalisasi perkembangan dan visual kota,membuat lunturnya karakter spesifik sebagai jatidiri sebuah kota sehingga kota semakin asing bagi masyarakat dan pembangunan kota lebih dititiberatkan pada pertimbangan aspek fisik dan ekonomi, serta cenderung mengabaikan nilainilai sosial budaya lokal dan historis kota.

Citra sebuah kota bukan hanya terbentuk dari tingginya gedung- gedung,tetapi juga dari nuansa gerak antara manusianya dengan massa pembentuk kota,dan mentalitas masyarakat kota.Pembangunan kota sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari perkembangan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politis suatu masyarakat kota dan pembangunan itu sendiri menjadi sebuah keharusan. Citra suatu kota dapat diwujudkan dari beberapa elemen.
  • District ( kawasan ) Bagian kota berukuran sedang sampai besar, tersusun sampai dua dimensi yang dapat dimasuki pengamat (secara mental), dan dapat dikenali dari karakter umumnya
  • Landmark ( tetenger) Titik acuan bersifat eksternal yang tidak dapat dimasuki pengamat, biasanya berupa struktur fisik yang menonjol
    Apabila dilihat dari jauh, dari berbagai sudut pandang dan jarak, di atas elemen lainnya, dijadikan acuan 
  • Node ( simpul ) Titik/lokasi yang strategis yang dapat dimasuki pengamat. Dapat berupa konsentrasi penggunaan/ciri fisik yang penting
  • Path ( jalur ) Jalur yang biasa sering atau potensial dilalui oleh pengamat, misalnya jalan lintasan  angkutan umum, kanal, rel kereta api
  • Edge ( tepian ) Batas antara dua kawasan yang memisahkan kesinambungan, elemen linier yang tidak dianggap/digunakan sebagai “path” oleh pengamat. Misalnya : pantai, lintasan rel kereta api, dinding , sungai
Dalam perwujudannya, elemen citra kota memiliki banyak formulasi dan kombinasi.Perlu kiranya dipelajari dan ditelusuri agar identitas kota berdasarkan tatanan dan fungsi kehidupan kota secara lebih terintegrasi yang di dalamnya merupakan akumulasi dari nilainilai sosiokultural warga kota sebagai ruh dan jati diri kota,serta elemenelemen fisik lingkungan sebagai wadahnya.


Maka di harapkan penataan ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang menjadi lebih baik,sehingga seiring dengan perkembangan dan pembangunan kota Larantuka tidak meninggalkan kekhasan budaya Lamaholot,sentuhan budaya Romawi, Portugis dan Melayu serta religiositas Kristiani. dan dapat mewujudnyatakan Larantuka “ Kota Reinha “ yang bukan hanya semboyan namun dapat kita buktikan, sekalipun hanya sebuah Kota Kecil namun dapat mempertegas identitas jati diri Kota Reinha sebagai icon Kota Religi dengan Semana Santanya yang begitu terkenal..


sumber referensi,

  • Studi lapangan (field research): mencari data dan informasi di lapangan
  • Studi kepustakaan (library research): dengan cara mengumpulkan data yang berkaitan dengan perkembangan tata ruang kota Larantuka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar