Larantuka sebuah kota kecil yang berada di bagian
timur Pulau Flores, secara geografis lokasi Kota Larantuka Berada di kaki
Gunung Ile Mandiri,dengan fungsi pelabuhan sebagai salah satu
sarana akses mobilitas dari dan keluar
kota larantuka . Dilihat dari perkembangannya sesuai kondisi topografi,kota
Larantuka terbentuk mengikuti variasi
dari bentuk perkampungannya,yang telah berjalan dari masa ke masa, Kota dan
desanya bertengger di tepi pantai atau di lereng bukit,cenderung mengikuti
kontur tanah yang berbukit-bukit.Menjadi bukti bahwa kota Larantuka berkembang
secara alami.
Sistem pemerintahannya konon mulai dikenal
masyarakat Larantuka sejak abad ke-13. Kota Larantuka tumbuh dan berkembang di
bawah pengaruh ekonomi,sosial budaya dan keadaan alam.Dalam perkembangannya
kota Larantuka di bagi dalam beberapa masa.
• Masa
sebelum kedatangan Portugis
Kota tumbuh dan berkembang di bawah pengaruh
pendatang dari suku lain di sekitar
wilayahnya,ada pula suku pendatang dari Jawa beragama Hindu yang dieja
masyarakat lokalnya sebagai warga Sina Jawa. Mereka ini masuk Larantuka semasa
era kekuasaan kerajaan Hindu di Jawa pada abad ke-12. Kota dalam masa ini
dikelompokan:
Ø Kota pantai
Ø Kota pedalaman
• Masa
setelah kedatangan portugis
Pada masa ini larantuka menjadi sebagai pusat
perdagangan dan kebudayaan baru.
Saat misionaris Portugis menyinggahi Larantuka
tahun 1556, mereka membaptis Raja
Larantuka sebagai pemeluk Katolik. Ini diikuti prosesi permandian iman Katolik
kepada 200 rakyat kerajaan. “Inilah awal Raja Larantuka memeluk Katolik.
• Masa
setelah Indonesia merdeka
Pada masa disebut masa transisi,kehidupan penduduk
hampir semuanya tergantung pada pertanian tanah kering. Karena hanya memiliki
sekali musim tanam, maka waktu antara musim diisi dengan pekerjaan sebagai
nelayan atau tukang. Sebagian lagi mengisi waktu dengan merantau, ciri suku
bermobilitas tinggi. Kehidupan pria ditunjang sepenuhnya oleh wanita dengan
bekerja di kebun dan membuat pekerjaan kewanitaan yang turun temurun seperti
menenun dan menganyam. Perlu diketahui, banyak juga penduduk nelayan terutama
mereka yang berdiam di daerah pesisir pantai.namun seiring berjalannya waktu
pertumbuhan perkembangan kota Larantuka
pun kian pesat.
Secara garis besar kota Larantuka berbentuk linier,berada di
bawah kaki gunung ile mandiri dan berada di pesisir pantai,hal ini
mengakibatkan ruang kota sempit,terbukti dari kota Larantuka hanya memiliki
satu jalan utama, dari kelurahan Waibalun sampai kelurahan Weri.namun ada
beberapa kelurahan yang memiliki lebih dari satu ruas jalan.seperti dari
kelurahan larantuka sampai kelurahan postoh memiliki tiga ruas jalan,kelurahan
amagarapati sampai kelurahan ekasapta memiliki dua ruas jalan,dari kelurahan
pohon bao sampai kelurahan weri memiliki tiga ruas jalan.kendatipun begitu
jalan utama masih mnjadi orientasi kegiatan masayrakat kota.hal ini
mengakibatkan tidak optimalnya jalan lain selain jalan utama,dan memberi kesan semrawut
pada Kota Larantuka,kecuali ruas jalan dari kelurahan larantuka sampai
kelurahan lokea dan postoh yg di optimalkan pada saat pekan suci Semana Santa (
hari kamis putih - sabtu santo ).
kawasan pecinaan / kawasan pertokoan
Kawasaan pecinaan atau lebih
dikenal dengan sebutan kawasan / kompleks pertokoan menjadi pusat kota ,pusat
perniagaan.hal ini di dukung oleh tata ruang nya yang berdekatan sama area pelabuhan Larantuka,halte kota dan yang
sering dijumpai terminal bayangan untuk angkot pedesaan dan bus antar
kota,serta bangunan – bangunan yang ada pada sekitar kawasan ini,misalnya rumah
jabatan Bupati, gedung DPRD,Area pemakaman umum.menjadikan aktivitas pada kawasan dan sekitar kawasan ini ramai dan semrawut,yang
mencerminkan penataan zona ruang kota yang kurang memadai. Kekurangan
pengetahuan dan pengalaman dalam mengelola kota telah mengakibatkan kota
Larantuka menjadi berkembang secara tidak terencana.
Kawasan perkantoran pemerintahan
Dalam penataan ruang kota,sebagian gedung perkantoran/
instansi pemerintahan berada di wilayah kelurahan Puken Tobi Wangi Bao.hal ini
disebabkan karena kontur wilayah kelurahan puken tobi wangi bao yang datar,sehingga
sebagian kawasan kelurahan tersebut dijadikan Kawasan perkantoran dinas pemerintahan kab flores timur,namun adapula beberapa kantor
dinas yang tidak terletak dalam kawasan itu.padahan ada beberapa
perkantoran/instansi pemerintahan yang saling berhubungan erat, hal ini dapat
mengganggu proses kerja suatu kantor/ instansi pemerintahan tersebut dalam memajukan
flores timur.
Kawasan / ruang transisi antara kota dan desa
Akses masuk kota melalui dua terminal,yakni terminal
lamawalang dan terminal weri. kedua kawasan ini merupakan ruang transisi, tapi pola
pemanfaatan ruang nya mempunyai kecenderungan hilangnya identitas kota,hal ini
disebabkan adanya fasilitas hiburan publik yang tidak mencerminkan budaya asli “Lamaholot”
dan kota Larantuka,kota Reinha.
Sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Flores
timur,Larantuka terus berupaya menata diri. Perkembangan kawasan perkotaan
terjadi sebagai konsekuensi meningkatnya jumlah penduduk serta kebutuhan akan
sarana prasarana penunjangnya, hal ini memerlukankepastian peruntukan lahan
yang diatur melalui perencanaan, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatannya.Namun disadari atau tidak beberapa fenomena yang terjadi di kota
Larantuka,misalnya Open space ( ruang terbuka publik ) yang berubah fungsi
menjadi pusat penjualan PKL area komersial,seperti pada beberapa area taman
kota, fenomena yang terjadi lainnya pada fasilitas publik seperti halte kota yang
menjadi sasaran tangan-tangan jail dalam berekspresi, kawasan bundaran
patung Herman Fernandes yang sering kali tidak terawat dan menjadi tempat
nongkrong,dan yg sering muncul saat ini adalah karakter yang didominasi
tebaran media iklan serta pemanfaatan ruang transisi antar kota dan desa.
Perkembangan suatu kota mempunyai kecenderungan
hilangnya identitas.hal ini disebabkan terjadinya peningkatan percepatan
perubahan ruang-ruang kota secara sistematis dan sangat pragmatis mengakibatkan
menurunnya kualitas lingkungan kota,terjadinya generalisasi perkembangan dan
visual kota,membuat lunturnya karakter spesifik sebagai jatidiri sebuah kota
sehingga kota semakin asing bagi masyarakat dan pembangunan kota lebih
dititiberatkan pada pertimbangan aspek fisik dan ekonomi, serta cenderung
mengabaikan nilai‐nilai
sosial budaya lokal dan historis kota.
Citra sebuah kota bukan hanya terbentuk dari
tingginya gedung- gedung,tetapi juga dari nuansa gerak antara manusianya dengan
massa pembentuk kota,dan mentalitas masyarakat kota.Pembangunan kota sebenarnya
merupakan konsekuensi logis dari perkembangan kehidupan sosial, budaya, ekonomi
dan politis suatu masyarakat kota dan pembangunan itu sendiri menjadi sebuah
keharusan. Citra suatu kota dapat diwujudkan dari beberapa elemen.
- District ( kawasan ) Bagian kota berukuran sedang sampai besar, tersusun sampai dua dimensi yang dapat dimasuki pengamat (secara mental), dan dapat dikenali dari karakter umumnya
- Landmark ( tetenger) Titik acuan bersifat eksternal yang tidak dapat
dimasuki pengamat, biasanya berupa struktur fisik yang menonjol
Apabila dilihat dari jauh, dari berbagai sudut pandang dan jarak, di atas elemen lainnya, dijadikan acuan
- Node ( simpul ) Titik/lokasi yang strategis yang dapat dimasuki pengamat. Dapat berupa konsentrasi penggunaan/ciri fisik yang penting
- Path ( jalur ) Jalur yang biasa sering atau potensial dilalui oleh pengamat, misalnya jalan lintasan angkutan umum, kanal, rel kereta api
- Edge ( tepian ) Batas antara dua kawasan yang memisahkan kesinambungan, elemen linier yang tidak dianggap/digunakan sebagai “path” oleh pengamat. Misalnya : pantai, lintasan rel kereta api, dinding , sungai
Dalam perwujudannya, elemen citra kota memiliki
banyak formulasi dan kombinasi.Perlu kiranya dipelajari dan ditelusuri agar
identitas kota berdasarkan tatanan dan fungsi kehidupan kota secara lebih
terintegrasi yang di dalamnya merupakan akumulasi dari nilai‐nilai sosio‐kultural warga kota
sebagai ruh dan jati diri kota,serta elemen‐elemen
fisik lingkungan sebagai wadahnya.
Maka di harapkan penataan ruang adalah wujud
struktural dan pola pemanfaatan ruang menjadi lebih baik,sehingga seiring
dengan perkembangan dan pembangunan kota Larantuka tidak
meninggalkan kekhasan budaya Lamaholot,sentuhan budaya Romawi, Portugis dan
Melayu serta religiositas Kristiani. dan dapat mewujudnyatakan
Larantuka “ Kota Reinha “ yang bukan hanya semboyan namun dapat kita buktikan,
sekalipun hanya sebuah Kota Kecil namun dapat mempertegas identitas jati diri
Kota Reinha sebagai icon Kota Religi dengan Semana Santanya yang begitu
terkenal..
sumber referensi,
- Studi lapangan (field research): mencari data dan informasi di lapangan
- Studi kepustakaan (library research): dengan cara mengumpulkan data yang berkaitan dengan perkembangan tata ruang kota Larantuka